Selasa, 19 Maret 2013



Pendahuluan.

NAMA TUHAN
 

Makalah ini disusun untuk memberikan tinjauan atas dinamika perkembangan akhir-akhir ini di kalangan warga gereja, khusus berkenaan dengan kontroversi penggunaan nama “ALLAH” di dalam Alkitab, kegiatan ibadah dan misi kristiani. Penghargaan yang seluas-luasnya diberikan kepada mereka yang telah menulis dan menyebarkan brosur dan buku tentang “Siapakah yang Bernama Allah Itu?” Hal ini disebabkan karena dengan beredarnya beberapa literatur seperti itu, dinamika kehidupan Kristiani di tanah air diajak dan dilatih kembali untuk berpikir kritis terhadap latar belakang tradisi dan unsur-unsur budaya yang dianut dan dilestarikan selama ini.

Akhir-akhir ini terdengar praktek-praktek tertentu, yang juga perlu dikritisi, karena berpotensi ke arah perpecahan, jika tidak dicarikan solusi yang memadai. Ada sebagian orang yang mulai mengadakan praktek pengusiran Roh Allah. Lainnya mulai bersikap antagonis terhadap nama Allah dan melarang orang menggunakan nama Itu.

Bolehkah kita mempertahankan penggunaan nama “Allah” dikalangan umat kristiani, ataukah kita harus berhenti dan menggantikannya dengan nama lain untuk obyek penyembahan kita? Bertitik tolak dari pertanyaan ini, kita berusaha dengan pertolongan Tuhan untuk mencari pemecahan yang seobyektif mungkin dari perspektif , gramatikal, historikkal, kultural, dan kontekstual, yang kesemuanya akan dianalisa secara kritis dalam terang Alkitab.

Doktrin Inspirasi.
Dalam Bibliologi (dogma tentang pewahyuan dan inspirasi Alkitab), kita belajar bahwa Roh Kuduslah yang menuntun para penulis Alkitab untuk menulis apa yang perlu dan memilih kata-kata yang tepat untuk digunakan dalam penulisan (2 Tim.3:16, 2 Pet.1:20, 21). Hal ini berlaku untuk seluruh Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Inilah yang disebut “verbal, plenary inspiration”. Keyakinan inilah yang membuat kita percaya akan kualitas dan sifat Alkitab yang tidak bersalah (inerrant-infallible).

Roh Kudus, yang maha bijaksana, telah menuntun dan menetapkan, bahwa dalam kepentingan misi dunia, dan dalam kaitan dengan penyebaran Injil secara global, maka bukan bahasa Ibrani lagi yang dipakai untuk menjadi naskah asli Perjanjian Baru, nelainkan bahasa Yunani. Dengan demikian, para penulis Perjanjian Baru diilhami (diberi inspirasi) untuk menerjemahkan “Yahweh” dengan “Kyrios” , kemudian “El” dan “Elohim” (tunggalnya Eloah) dengan “ Theos”. Roh Kudus merasa perlu berbuat demikian karena bahasa Yunani ketika itu adalah bahasa internasional atau bahasa pergaulan, yang menghubungkan orang-orang yang berlainan bahasa (lingua franca).

Contoh dari kebijaksanaan Roh Kudus itu adalah Wahyu 19:4, dikatakan dengan jelas sembahlah Theos. Tidak dikatakan sembahlah Elohim. Walaupun ke dua nama itu baik Elohim maupun Theos adalah nama-nama sebutan umum (generic names), yang juga bisa dipakai untuk ilah-ilah lain (Kittel 1985, 326), tetapi Roh Kudus menggunakan keduanya dalam Alkitab, dan khusus untuk Perjanjian Baru Ia memilih Theos untuk nama bagi obyek sembahan, bahkan Yesus sendiri yang adalah Logos itu disebut “Theos” (Yoh.1:1).

Nama “Yahweh” memang bukan generic name, karena dipakai secara khusus untuk obyek sembahan Israel. Ini adalah nama pribadi, atau personal name (Achtemeter 1990, 684) bagi Tuhan yang dikenal di Israel, yang harus diindahkan, dikuduskan, dihormati dan tidak boleh disebut dengan sembarangan. Kendatipun demikian, dalam kebijaksanaan Roh Kudus ketika memberikan inspirasi kepada penulis Perjanjian Baru, Ia memilih kata Kyrios sebagai terjemahan atau pengganti “Yahweh”.

Siapakah yang akan keberatan atas kebijaksanaan inspirasi Roh Kudus ini? Siapa kita untuk mengatakan tidak boleh nama “Yahweh” diganti atau diterjemahkan ke nama atau gelar lain? Sesungguhnya kita tidak lebih bijaksana daripada Roh Kudus. Orang Manado tidak lebih bijaksana daripada Roh Kudus. Begitu juga orang Jawa tidak lebih arif daripada Roh Kudus, atau semua orang Indonesia tidak lebih pintar daripada Roh Kudus.

Nama Allah Pra Islam.
Bagi orang-orang Arab pra-Islam nama Allah sudah dikenal dalam pengertian dipakai. Yang dimaksudkan dengan pra-Islam disini adalah era sebelum tahun 610. Menurut Ensiklopedi Islam: Kata Allah sudah dikenal oleh masyarakat Arab sebelum Islam. Itu terlihat dari nama mereka yang mengandung kata tersebut, seperti nama Abdullah (Abdi Allah). Sejarah menunjuk bahwa pada masa Nabi Muhamad SAW terdapat orang-orang yang menganut agama wahyu sebelum Islam, yang hanya menyembah Allah SWT, sebagaimana yang dilakukan kaum Hanif (Ridwan 1994, 124).

Kaum Hanif adalah orang-orang yang diyakini hidup sebelum Islam dan dikatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang benar keyakinannya. Hanif sendiri adalah sebutan untuk kaum monoteis yang tidak memeluk agama tertentu dan tinggal di Jazirah Arabia (Ahmadi 1991, 92). Selanjutnya dijelaskan bahwa: Konsep masyarakat Arab pra-Islam, khususnya penduduk Mekah, mengenai Allah SWT dapat diketahui melalui Al-Qur’an. Allah SWT bagi mereka adalah pencipta langit dan bumi yang memudahkan peredaran matahari dan bulan, yang menurunkan air dari langit, tempat menggantungkan harapan, Surah 29:61,63; 31:25; 39:38; 43:9,87; 13:17 (Ridwan 1994, 124).

Dari informasi yang kita peroleh di atas, maka Allah itu dikenal oleh orang-orang Arab pra-Islam sebagai (1) pencipta langit dan bumi, (2) yang memudahkan peredaran matahari dan bulan, (3) yang menurunkan air dari langit, (4) tempat menggantungkan harapan.

Berdasarkan data-data Al-Qur’an sendiri, maka ada orang kemudian menafsirkan Allah itu sebagai dewa pengairan, yang mengairi bumi, karena Muhamad Wahyuni Nafis menuliskan: “Allah bagi orang-orang Arab pra-Islam dikenal sebagai “dewa” yang mengairi bumi sehingga menyuburkan pertanian dan tumbuh-tumbuhan serta memberi makanan ternak” (Nafis, 1998, 85). Penjelasan ini kemudian dikembangkan lagi oleh beberapa orang kristen dan diberi penekanan khusus pada istilah “dewa”.

Dalam pengamatan kami, bahwa mungkin dari penekanan pada istilah “dewa” itulah kemudian muncul beberapa gagasan "salah kaprah" dan anjuran sebagai berikut:

1. Bahwa lembaga Alkitab Indonesia telah membuat kekeliruan dalam menerjemahan Alkitab karena menggunakan nama Allah.
2. Bahwa orang-orang kristen tidak boleh menggunakan nama Allah.
3. Bahwa menggunakan nama Allah adalah penghujat kepada Tuhan.
4. Semua nama Allah dalam Alkitab harus diganti dengan bahasa Ibrani. Begitu juga nama-nama dari tokoh-tokoh Alkitab.

Penafsiran, gagasan dan anjuran demikian itu telah mengundang polemik yang perlu dicarikan solusi, agar tidak merembet ke arah keresahan dan perpecahan di kalangan warga gereja.

Bagi masyarakat pra-Islam dan khususnya mereka yang tinggal di daerah-daerah yang bentuk geografisnya gersang, berbatu dan padang gurun, air merupakan kebutuhan hajat hidup yang sangat penting. Apalagi bagi para peternak, yaitu masyarakat Beduin, yang mengembala domba atau kambing mereka. Barangkali bagi mereka, air itu lebih penting daripada emas. Situasi kondisi geografis demikian telah menyebabkan berkembang suatu budaya dalam sejarah bangsa Arab, bahwa Allah yang memegang kekuasaan untuk mengatur hal-hal yang paling berharga dan penting bagi mereka. Misalnya peredaran matahari dan bulan, perairan dan musim.

Sesungguhnya pengamatan kami atas kontroversi yang ada sekarang ini, diakui atau tidak, disebabkan karena penggunaan istilah “dewa”, suatu istilah yang tidak pernah digunakan di dunia Arab, dan yang didefinisikan secara akurat. Kita semua mengetahui bahwa istilah ini berasal dari bahasa Sangsekerta, bukan bahasa Arab. Karena itu kita perlu mendefinisikan dulu istilah ini, kemudian melihat padanannya dalam bahasa Arab. Apabila sudah dilakukan demikian, maka kita akan terhindar dari hal-hal yang membingungkan dan dapat mengatasi polemik yang sedang berlangsung sekarang ini dikalangan warga gereja.

Kajian Etimologis.
Riset mengenai asal-usul munculnya istilah atau nama “Allah” perlu dibahas sebagaimana mestinya. Beberapa pandangan tentang nama tersebut dapat dikemukakan disini, anatara lain yang dikemukakan oleh Abd-Al-Masih dalam bukunya “Who is Allah in Islam?”, beliau menuliskan:

In the Arabic language, the name Allah is a study in itself. The word can be understood as a sentence al-el-hu. “El” is an old Semitic name for God meaning “the strong and almighty”. The Islamize name, Allah, corresponds to the Jewish name Elohim, which can also be understood as a statement: al-el-hum. Although the Jewish name Elohim contains the possibility of a plural (hum), the name of Allah (hu) can only singular. (Abd-Al-Masih n.d, 37).

Abd-Al-Masih berpendapat bahwa nama Allah dapat dipahami sebagai suatu kalimat al-el-hu. Sedangkan kata “El” sendiri adalah bahasa Semitik lama untuk Tuhan yang berarti “yang kuat dan berkuasa (maha kuasa)”. Selain itu, beliau melihat bahwa Allah itu berpadanan atau cocok dengan nama Elohim.

Diungkapkan bahwa: Secara kebahasaan, kata Allah sangat mungkin berasal dari kata Al-Ilah. Kata itu mungkin pula berasal dari bahasa Aramea, Alaha yang artinya Allah. Kata Ilah (Tuhan yang disembah) dipakai untuk semua yang dianggap sebagai Tuhan, atau yang maha kuasa.

Dengan penambahan huruf alif lain didepannya sebagai kata sandang tertentu , maka kata Allah dari kata al-Ilah dimaksudkan sebagai nama Zat Yang Maha Esa, Maha Kuasa dan Pencipta Alam semesta. (Ridwan 1994, 124).

Pandangan lain yang dikemukakan oleh Thomas Patrick Hughes dalam kamusnya yang berjudul “Dictionary of Islam”. Menurut bahasan beliau:

Allah is supposed to be derived from ilah, a deity or god, with the addition of the definite article al-Al-ilah, ‘the God’- or, according to some authorities, it is from lah, i.e Al-lah, the ‘secret one’Allah may be an Arabic rendering of the Hebrew, and the unused root “to be strong”, or from the singular form of. (Hughes 1978).

Berdasarkan pandangan Hughes, nama “Allah “ bisa berasal dari “ilah” dan dengan penambahan kata sandang “al” menjadi “Al-ilah”. Bahkan dari beberapa sumber yang berwewenang, mereka memahami asal-usul dari “Allah” dari kata “lah” kemudian ditambah “al” sehingga menjadi Allah yang berarti “yang rahasia”. Dalam hal ini bisa kita artikan “yang ajaib”. Hughes juga melihat kaitan antara nama “Allah” sebagai pengertian bahasa Arab dari bahasa Ibrani “El”. Pula dari suatu akar kata yang tidak dipakai “ul” yang berarti “menjadi kuat”, atau dari kata “Eloah”, yaitu bentuk tunggal dari kata “Elohim”. Jadi kata “Allah” dapat ditarik dari asal kata “ilah” ditambah kata sandang “Al”.

Dari beberapa pandangan di atas, kita menemukan bahwa oleh karena bahasa Arab adalah termasuk rumpun bahasa Semitik, dan sama halnya dengan bahasa Ibrani, maka mereka mengkaitkan kata “Allah” itu kepada kata “El”, Eloah dan Elohim, yaitu nama-nama sebutan umum (generic names) untuk obyek-obyek penyembahan. Dalam Perjanjian Lama, semua nama sebutan umum itu bisa dipakai untuk obyek-obyek sembahan lainnya, kalau tidak diberikan penjelasan atau dikaitkan dengan Yahweh.

Allah Dalam Islam.
Dalam theologi Islam, istilah ”Allah telah mengalami perluasan makna. Bahkan banyak kemiripan dengan konsep theologi yang ada dalam Yudaisme. Menurut Ahmad Roestandi, “Allah” nama sebutan yang tercantum dalam Al-Qur’an bagi Dzat Tuhan Maha Pencipta, Dzat Yang Maha Abdi yang digunakan oleh seluruh umat Islam dari segala bangsa dan bahasa. Dalam Al-Qur-an lapadz Allah disebut sebanyak 2.799 kali (Roestandi 1993, 16-17).

Perlu kiranya dipahami bahwa dalam Islam Allah itu mempunyai sifat dua puluh, atau dikenal dengan “Ash-Shifatal ‘Isyrun”. Pembahasan mengenai sifat-sifat Allah ini termasuk pada ilmu kalam atau ilmu tauhid, dan sering juga disebut ilmu ushuludin. Adapun ke dua puluh sifat Allah itu seperti terlihat pada daftar dibawah ini:

Mereka yang terlibat dalam pembahasan ilmu kalam ini disebut mutakallimin. Adapun ke dua puluh sifat Allah itu seperti terlihat pada daftar dibawah ini:

(1). Wujud, artinya ada; (2) Qidam, artnya tak ada permulaan bagi adanya Allah; (3) Baqa, tak ada kesudahan bagi Allah; (4) Mukhalafatu Lilhawaditsi, artinya berlainan dengan segala mahluk; (5) Qlyamuhu Binafsihi, artinya berdiri sendiri tidak tergantung pada sesuatu yang lain; (6) Wahdaniyah artinya tunggal tidak ada sekutunya. Sifat (1-6) diatas disebut sifat salbiyah, artinya tiada kemudahan Allah dengan apapun. (7) Qudrat, artinya kuasa atas segala hal dikehendaki-Nya; (8) Iradat, artinya kehendak yang merdeka; (9) ‘Ilmu, artinya tahu atas segala hal; (10) Hayat, artinay hidup; (11) Sama, artinya pendengar atas segala hal; (12) Bashar, artinya penglihatan atas segala hal; (13) Kalam, artinaya perkataan. Sifat (7-13) diatas disebut sifat Ma’ani. (14) Qadiran, artinya maha kuasa; (15) Muridan, artinya maha berkemauan; (16) ‘Aliman, artinya maha mengetahui; (17) Hayan, artinya maha hidup; (18) Sami’an, artinya maha mendengar; (19) Bashiran, artinya maha melihat; (20) Mutakaliman, artinya maha berkata(berfirman). Sifat (14-20) diatas disebut sifat Ma’na Wiyah yang merupakan peraga dari sifat Ma’ani.(Roestandi 1993, 253).

Dalam Islam, Allah adalah Dzat. Istilah “dzat” (Zat) diartikan sebagai “wujud, atau hakikat; sesuatu yang menyebabkan terjadinya adanya sesuatu”.(Salim 1991, 1730). Sedangkan dalam hukum Islam, istilah ini didefinisikan seperti yang dikemukakan oleh Thomas Patrick Hughes, in Moslem law, zat signifies the body connected with the soul, in opposition to “badan”, which means “the material body”.(Hughes 1978, 702). Dengan demikian, dzat menurut pemahaman ini lebih berkaitan dengan jiwa, bukan dengan materi.

Dari uraian dalam Ensiklopedi Islam, kita temukan bahwa dzat Allah sulit dipahami oleh manusia. Karena dikatakan, “Zat Allah SWT lebih besar dari apa yang dikuasa oleh akal manusia, dari apa yang terjangkau oleh pikiran-pikiran manusia atau yang mungkin diduga oleh akal dan pikiran manusia (Ridwan 1994, 124).

Mengenai sifat-sifat Allah dapat juga dipahami melalui apa yang disebut “asmaul husna”, atau nama-nama yang indah dari pada Allah, yang jumlahnya sebanyak sembilan puluh sembilan (99). Misalnya Ar-Rahman, Ar-Rahim, Al-Awal, Al-Akhir, dll.

Dalam pengamatan kami, didasarkan pada apa yang menjadi penjelasan Islam tentang Allah dan sifat-sifatnya, maka walaupun istilah “Roh” tidak dipakai dalam uraian theologi Islam, dalam menerangkan tentang Allah, tetapi konsep “dzat” ada kemiripannya atau indentik dengan “Roh” dalam terminologi theologi Kristen.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar